Candi
Batu Jaya memang belum terkenal sebagaimana candi bersejarah lainnya seperti
Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Jawa Tengah. Namun, Candi Batu Jaya
menyimpan warisan budaya yang tak kalah luhurnya. Candi ini berjarak sekitar 70 km dari Jakarta, tepatnya
berada di dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Pakis Jaya dan Kecamatan Batu
Jaya, Kabupaten Karawang. Lokasi yang dapat ditempuh dengan dua jam
berkendaraan dari Jakarta ini, menyimpan potensi pariwisata budaya yang cukup
besar. Kompleks Candi Batu Jaya tidak terlihat begitu
mencolok, karena letaknya ada di tengah-tengah hamparan sawah yang dikelilingi
oleh pemukiman penduduk. Untuk mencapainya, dari jalan utama, harus memasuki
jalan desa sepanjang kurang lebih 100 m dan berujung di tepian sawah. Di
sekelilingnya terdapat beberapa bangunan tempat penyimpanan temuan benda
purbakala.Beruntung, sewaktu mengunjungi
kompleks percandian ini, cuaca sedang cerah, sehingga warna kontras susunan
batu bata yang kemerahan, birunya langit dan hamparan hijau padi yang sebentar
lagi siap untuk dipanen terlihat begitu sempurna. Jalan plester semen selebar
satu meter yang membelah hamparan sawah mempermudah perjalanan menuju kompleks
candi. Pak Kaisin, satu dari sepuluh juru pelihara Candi Batu Jaya yang ditemui,
dengan senang hati mengantarkan melihat lebih dekat kompleks candi sembari
mengisahkan cerita sejarah tentang Batu Jaya.
Berawal dari unur-unur lah kisah Candi Batu Jaya
dimulai. Unur-unur, atau dalam bahasa sunda berarti tanah berbentuk gundukan
bukit, banyak ditemukan pada area persawahan di daerah ini. Sebelum diketahui
bahwa di dalamnya terdapat situs candi kuno, unur-unur yang banyak ditumbuhi tanaman perdu, pohon
kelapa, pisang dan semak-semak sering digunakan sebagai tempat menggembala
hewan ternak terutama kambing. Bahkan unur-unur ini juga digunakan sebagai
tempat mengungsi saat terjadinya banjir, karena letaknya yang lebih tinggi
dibandingkan dengan areal persawahan dan permukiman di sekitarnya. Masyarakat
yang tinggal di kawasan tersebut sebelumnya tidak menyadari, bahwa sesungguhnya
mereka tinggal cukup dekat dengan situs yang menyimpan kebudayaan peradaban
tinggi masa lalu.Hingga saat ini belum diketahui,
mengapa Situs Candi Batu Jaya ini dapat terkubur lapisan tanah sedalam 60-100
cm dan membentuk unur-unur. Apakah dari faktor alam, seperti misalnya letusan
gunung api yang besar, kiriman lumpur banjir Sungai Citarum, akibat perang
ataukah karena sebab yang lainnya.
Penemuan benda bersejarah ini
didahului dengan penemuan Situs Cibuaya, sebuah situs peninggalan megalitikum
di Desa Cibuaya Kecamatan Pedes, yang letaknya tidak jauh dari Kecamatan Pakis
Jaya dan Kecamatan Batu Jaya. Masyarakat yang menemukan batu bata berbentuk
aneh beserta kumpulan kulit kerang disekitar unur-unur ini, kemudian melaporkan
hasil temuannya kepada para peneliti yang sedang melakukan penggalian Arca
Wisnu di kawasan Cibuaya. Pada tahun 1984, maka dimulailah penelitian dan
penggalian di kawasan Batu Jaya ini. Unur atau gundukan tanah yang
pertama kali diteliti adalah Unur Jiwa. Setelah sedikit demi sedikit lapisan
tanahnya tergali, ditemukan tumpukan batu bata yang menyerupai bentuk bangunan
candi. Bentuk candi tersebut sudah tidak beraturan, sebagian bangunannya telah
hancur. Karena para ahli tidak menemukan jejak catatan mengenai bentuk
candi-candi yang ada di kawasan ini, maka pemugaran hanya dilakukan sebatas
mengembalikan lagi posisi batu bata sesuai dengan tempatnya.
Berdasar penelitian para arkeolog
dari berbagai lembaga, unur yang di dalamnya diduga juga terdapat bangunan
candi pada kawasan ini, berjumlah lebih dari 30 buah. Unur ini tersebar di
berbagai lokasi dengan luas total area mencapai kurang lebih 25 km2. Sampai
dengan saat ini baru 11 candi yang sudah di teliti (ekskavasi). Batu Jaya dan Tarumanegara
Posisi Candi Batu Jaya terletak
sekitar 500 m dari aliran utama Sungai Citarum Hilir yang memecah menjadi 3
sungai yaitu Sungai Bungin, Sungai Balukluk, dan Kali Muara Gembong sebelum
bermuara di Laut Jawa. Wilayah ini mempunyai posisi strategis sebagai wilayah
perlintasan bagi pelayaran nasional dan internasional India – Cina. Menurut
arkeolog Clodeus Potinus, diperkirakan pada abad 2-3 Masehi, kawasan pesisir
Pulau Jawa sudah tumbuh menjadi kawasan permukiman dan berkembang kegiatan perekonomian
terutama perdagangan. Kawasan ini kemudian berkembang menjadi bandar-bandar
pelabuhan dan memegang peranan penting bagi perkembangan sosial ekonomi
masyarakat Sunda kuno.
Namun, tidak hanya di pesisir,
Sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang memegang peranan penting dalam
pengembangan kegiatan perekonomian di daerah pedalaman. Sungai dengan lebar
40-60 m ini menjadi jalur perdagangan utama di Jawa Barat. Artefak dan
keramik-keramik Cina kuno banyak ditemukan di sepanjang aliran sungai ini.
Bahkan diantaranya berasal dari Thailand, Vietnam, India dan bahkan dari Eropa.
Keberadaan Candi Batu Jaya ini
diperkirakan muncul akibat adanya aktivitas perdagangan internasional dan
didorong oleh perkembangan Kerajaan Tarumanegara pada masa itu. Dugaan bahwa
Candi Batu Jaya terkait erat dengan masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara sebagai
kerajaan Hindu terbesar saat itu, dikaitkan dengan berbagai catatan-catatan
sejarah yang dikumpulkan. Sumber-sumber tertulis berupa prasasti, antara lain
prasasti Ciaruteun, Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, serta prasasti Tugu
mengatakan bahwa Daerah Batu Jaya dan Cibuaya dahulu termasuk wilayah kekuasaan
kerajaan Tarumanagara.
Dugaan tersebut diperkuat lagi
oleh kitab carita Parahyangan, naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa dan
Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara karangan pangeran Wangsakerta yang
disusun pada tahun 1678-1683 (data Himpala Unas, 2010). Candi yang berfungsi
sebagai candi pemujaan ini juga menjadi bukti pemahaman proses diterimanya
agama Hindu–Budha oleh masyarakat Sunda Kuno di Jawa Barat.
Dibangun Dengan Teknologi Tinggi
Candi Batu Jaya merupakan bagian
dari situs kompleks Candi Budha Mahayana yang didirikan sekitar abad 3 atau 4 Masehi, jauh lebih tua dan
lebih luas dari Kompleks Candi Budha Borobudur di Jawa Tengah yang didirikan pada
sekitar abad ke 8 Masehi. Bahkan mungkin merupakan bangunan candi tertua di
Pulau Jawa. Dari hasil penelitian dengan menggunakan media radiometri carbon,
diperkirakan benda-benda bersejarah ini berasal dari abad ke 2. Terdapat pula
temuan tembikar Arikamedu yang sebenarnya berasal dari pelabuhan kuno di India
Selatan pada abad ke 1. Sehingga seperti
disimpulkan Hasan Djafar, Arkeolog UI yang menjadi ketua tim penelitian
Batujaya, dapat dikatakan Situs Batujaya berada di ambang batas masa prasejarah
dan sejarah karena batas masa prasejarah adalah sebelum tahun 400 Masehi.
Peralihan transisi masa prasejarah ini juga dikuatkan
dengan ditemukannya fosil-fosil kerangka manusia, yang tata cara pemakamannya
mirip dengan penemuan Buni Pottery
Complex atau Kompleks Tembikar Buni yang ditemukan di dekat Kali Bekasi. Buni
merupakan bekas permukiman prasejarah yang mempunya tradisi menguburkan mayat
dengan dibekali benda-benda berharga seperti gelang kaca, manik-manik (yang
terbuat dari kaca, batu, atau emas), dan lain-lain.
Sedangkan ciri-ciri dari Candi
Budha dilihat dari penemuan benda-benda purbakala berupa artefak, diantaranya,
arca kepala manusia, prasasti lempengan emas yang berisi ayat suci agama Budha,
fragmen prasasti terakota, fragmen keramik, stempel kerajaan maupun tablet
/materai bergambar relief Budha dan lain sebagainya. Temuan-temuan ini selain
disimpan di Museum Batu Jaya yang terletak tidak jauh dari kompleks Candi,
sebagian lainnya terutama temuan-temuan yang berbahan dasar emas di simpan di
Museum Nasional.
Selain itu bentuk candi-candi
yang sudah diteliti juga mencirikan hal yang serupa. Candi Jiwa misalnya,
meskipun bentuknya hanya tinggal dasarnya saja, candi yang berukuran 19x19 m
dengan tinggi 4,2 m ini tidak mempunyai pintu dan anak tangga. Bentuk semacam
ini jelas tidak ditemukan pada candi manapun di Indonesia. Pada bagian atas
candi tersusun bata melingkar dengan ukuran diameter 6 meter berbentuk kelopak
bunga teratai/padma/ Nymphaeaceae, bunga yang sering digunakan dalam
upacara-upacara keagamaan agama Budha. Kemungkinan Candi Jiwa ini digunakan
untuk meletakkan arca atau patung.
Candi kedua yang dikunjungi
adalah Candi Blandongan, letak candi ini tidak jauh dari Candi Jiwa. Ukurannya
lebih besar dan berbentuk bujur sangkar 24,2 x 24,2 m. Pada masing-masing
sisinya terdapat empat tangga masuk dengan orientasi menghadap empat arah mata
angin. Di salah satu sisi bangunan ini terdapat susunan bata yang melengkung di
atas tanah, dan dipercaya sebagai robohan gapura pintu masuk ke Candi
Blandongan ini. Adanya sisa batu andesit berdiameter sekitar 30 cm dan lubang
sisa tiang di sekililing teras dipercaya bahwa dahulu berfungsi sebagai tempat
didirikan tiang-tiang kayu yang mengelilingi stupa. Diduga Candi Blandongan ini
merupakan candi utama di kompleks Candi Batu Jaya.
Candi-candi di kompleks Candi
Batu Jaya ini terbentuk dari susunan batu bata. Apabila dilihat secara lebih
detail, masih terdapat bekas kulit padi yang menempel di bagian dalam batu
bata. Kulit padi atau sekam ini digunakan sebagai bahan campuran tanah liat untuk
membuat batu bata. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada jaman tersebut
telah memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai bagaimana membuat batu bata
yang baik. Karena seperti diketahui kulit padi kering yang digunakan sebagai
bahan pembakar apabila dicampurkan dapat menghantarkan panas ke dalam batu
bata, sehingga tingkat kematangan batu bata ini merata sampai ke bagian dalam.
Keberadaan sekam ini juga menandakan bahwa pada masa ini sudah terjadi
perubahan pola kehidupan masyarakat tatar sunda yang biasanya ngahuma
(berpindah ladang) mulai menetap dan bercocok tanam padi.
Di salah satu bagian sisi
bangunan Candi Blandongan juga dilapisi dengan lapisan putih semacam kapur
(vajra-lepa). Hal ini menjadi bahan pertanyaan dari mana asal bahan lapisan ini,
karena letak candi berada di kawasan pesisir yang jauh dari pegunungan kapur.
Namun setelah diteliti ternyata bahan pembentuknya terdiri dari tumbukan kulit
kerang yang dicampur dengan pasir dan saat ini dikenal dengan nama
stuko/stucco. Fungsi dari lapisan ini adalah untuk melindungi candi dari sifat
korosif air laut yang dapat merusak bangunan candi. Selain itu bahan stuko ini
juga digunakan sebagai bahan perekat batu-batu kecil yang dibentuk menjadi
arca.
Keberadaan batuan kerikil ini
juga menarik, karena ditemukan juga batuan lain dalam bentuk yang cukup besar
dan digunakan sebagai batu fondasi bangunan candi. Batuan jenis ini sangat
jarang ditemui di daerah pesisir yang kecenderungan berkarakteristik landai dan
berpasir. Sehingga dipercaya batu-batu besar dan kerikil ini diambil dari hulu
Sungai Citarum yang dibawa menggunakan rakit atau sampan sampai ke daerah Batu
Jaya. Dapat dibayangkan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan di masa itu
sebenarnya sudah cukup tinggi.
Tidak jauh dari Candi Blandongan
juga terdapat sumur tua yang dipercaya sudah ada pada saat kompleks Candi Batu
Jaya ini dibangun. Fungsi dari sumur ini dipercaya untuk mengambil air suci
yang digunakan dalam upacara-upacara keagamaan.
Batu Jaya Kini
Hingga saat ini penelitian di
kompleks Candi Batu Jaya masih terus dilakukan sedikit demi sedikit. Beberapa
bangunan candi lain yang saat ini sedang diteliti adalah bentuk yang diduga
hunian dan permukiman di Unur Lempeng. Apabila penelitian ini dapat dilakukan
secara menyeluruh ke semua kawasan yang diduga masih terdapat peninggalan
bangunan candi yang lainnya, dipercaya kompleks ini merupakan situs percandian
terluas dan tertua di Asia.
Pada hari-hari tertentu, tempat
ini mulai digunakan sebagai tempat upacara besar bagi penganut agama Budha.
Beberapa fasilitas seperti Museum Batu Jaya, maupun pendopo juga sudah dibangun
untuk melengkapi fasilitas kepariwisataan budaya di daerah ini. Perhatian dan
kepedulian pemerintah tentunya masih sangat diperlukan untuk memugar dan
mengembangkan penelitan di kawasan ini. Karena selain menyimpan aset pariwisata
sejarah dan budaya yang luar biasa besar, pelestarian benda-benda sejarah
merupakan cerminan perhatian dan bentuk penghargaan terhadap nilai budaya
leluhur.
Bapak Kaisin adalah salah satu
dari 10 juru pelihara Situs Candi Batu Jaya. Pria kelahiran Bekasi tahun 1937
ini mulai tinggal di Karawang sejak tahun 1956, dan menjabat sebagai kepala
dusun. Beliau tinggal sangat dekat dengan kompleks Batu Jaya ini. Bahkan di
halaman rumahnya saat ini dibangun kantor administrasi dan bangunan tempat
menyimpan hasil temuan-temuan pada proses penggalian di sekitar candi. Semenjak
dilakukan penelitian, pada tahun 1985 beliau kemudian menjadi salah satu juru
pelihara Candi Batu Jaya. Beliau mengikuti sejak proses awal penelitian,
sehingga pengetahuannya terhadap keberadaan situs ini sangat mendalam. Kaisin
berharap agar pemerintah memberikan perhatian yang lebih serius terhadap situs
bersejarah ini, karena hingga saat ini penelitian yang dilakukan masih
terhitung kecil, dibandingkan dengan luasan kompleks candi yang belum dipugar.
Text : Nancy Rosma, R Wahyuningrat
Foto : R Wahyuningrat
Sumber Tulisan :
1. Hasan Djafar, arkelog UI yang
menjadi Ketua Tim Penelitian Batujaya dalam buku Kompleks Percandian Batu Jaya.
2. Keterangan cerita Candi Batu
Jaya yang dikisahkan oleh Bapak Kaisin, salah satu Juru Pelihara Situs Candi
Batu Jaya.
3. Agustijanto I.S.S, dalam
Laporan penelitian dan pengembangan arkeologi nasional, Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata, 2006.
Re_Blog dari : www.citarum.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar